Umsida.ac.id – Pakar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Prantasi Harmi Tjahjanti, SSi MT, turut menangani banyaknya perusahaan yang mengantre konsesi hutan seluas 4,82 juta hektare di Kementerian Kehutanan yang tersebar di 26 provinsi.
Konsesi hutan baru adalah izin atau perjanjian antara pemerintah dan perusahaan untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan.
Diperlukan Kejelasan Diberikannya Izin
Menurut dosen yang biasa disapa Dr Tasi itu, pemberian konsesi hutan kepada para perusahaan oleh pemerintah, harusnya memiliki alasan yang tepat mengapa hutan tersebut harus diberikan konsesi baru.
Menteri kehutanan harus mempertahankan fungsi hutan yang sebenarnya. Jadi harus tahu bagian mana yang dijadikan konsesi baru.
“Misalnya hutan Pulau Jawa, yang sekiranya memang tidak bisa dialihfungsikan, lebih baik dibiarkan saja agar tidak merusak habitat alam maupun aktivitas manusia di sekitarnya,” ujarnya.
Walaupun hutan Kalimantan terbilang luas dan banyak dimanfaatkan, kata Dr Tasi, namun harus tetap ada pendataan terlebih dahulu untuk pemberian konsesi hutan baru.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari dampak yang merugikan karena kondisi hutan sangat mempengaruhi lingkungan.
“Jadi ini harus dipertimbangkan dengan benar di samping keuntungan ekonomi yang didapatkan dari perizinan pengelolaan hutan ini,” terangnya.
Dampak Konsesi Hutan

Dr Tasi menjelaskan bahwa disetujuinya konsesi hutan tentu akan mengubah bentuk hutan. Beberapa dampak yang mungkin terjadi ketika adanya konsesi hutan menurut Dr Tasi, di antaranya:
1. Deforestasi Hutan
Deforestasi hutan yaitu berkurang atau hilangnya luas hutan secara masif dan terjadi secara permanen.
“Deforestasi hutan bisa terjadi karena aktivitas manusia. Misalnya hutan lindung menjadi lahan pertanian atau pembangunan di kawasan hutan,” terangnya.
Dosen lulusan S3 ITS itu juga mengatakan bahwa deforestasi hutan juga bisa disebabkan karena faktor alam, seperti kebakaran hutan besar-besaran.
2. Degradasi Hutan
Degradasi hutan merupakan proses penurunan kualitas hutan. Luas hutan tidak hilang, namun jumlah spesies tumbuhan dan hewan yang ada terus berkurang.
“Harus ada pertimbangan yang sangat serius karena hutan bukan lahan yang kecil. Dan hutan ini akan diubah sehingga habitat asli juga kemungkinan akan hilang,” jelas Dr Tasi.
3. Konflik dengan Masyarakat Adat
Dr Tasi berpendapat bahwa konsesi hutan juga dikhawatirkan akan mengakibatkan munculnya konflik dengan masyarakat adat karena pengalihan fungsi lahan.
Karena selama ini masyarakat adat lah yang menggunakan dan melindungi hutan di daerahnya.
4. Mitigasi Perubahan Iklim Terganggu
“Kebijakan ini juga dapat mempengaruhi upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia,” katanya.
Kondisi iklim jika hutan tersebut ditebang bisa mengurangi jumlah produsen oksigen yang akan berdampak ke aktivitas rumah kaca.
“Penebangan hutan bisa menyebabkan emisi gas rumah kaca. Ketika gas-gas tertentu yang ada di bumi lepas ke atmosfer maka akan menyebabkan panas karena tidak ada tumbuhan yang bisa menyerap CO2 lagi,” jelasnya.
Ketika udara terasa panas, maka saat itulah terjadi pelepasan gas-gas (emisi gas rumah kaca). Gas tersebut terperangkap di atmosfer yang menyebabkan suhu global akan naik.
Harus Melibatkan Masyarakat Setempat

Dr Tasi mengungkapkan bahwa sebaiknya pemerintah tidak membuat kebijakan atau keputusan tertentu yang mengedepankan faktor ekonomi saja, apalagi dengan merusak ekosistem hutan yang sangat luas.
“Semua harus diperhitungkan lebih dulu, terlebih jika ditemukan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya,” katanya.
Boleh mengedepankan ekonomi, imbuh Dr Tasi, tapi harus menyeimbangkan dengan lingkungan karena lingkungan tak hanya melindungi manusia tapi juga makhluk hidup lainnya.
Menurutnya, konsesi hutan bukanlah cara untuk merawat hutan. Ini bukan langkah keberlanjutan sumber daya alam, tapi sebaliknya jika tidak dipertimbangkan dengan baik.
“Jika ingin berkelanjutan, maka harus diperhitungkan semua aspek lainnya, seperti dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang benar-benar menguntungkan rakyat,” tegas dosen yang mengajar selama 30 tahunan itu.
Lantas, ia memberikan saran agar jika ingin membuat suatu kebijakan seharusnya pemerintah melakukan koordinasi dulu dengan pihak yang di bawah (rakyat setempat).
Masyarakatlah yang berada di tempat secara langsung, jadi seharusnya yang mengawasi jalannya regulasi tersebut adalah masyarakat setempat.
Karena menurutnya, banyak masyarakat adat yang kontra dengan pengalihan fungsi hutan yang masif dilakukan pemerintah.
“Mereka perlu dilibatkan agar kebijakan bisa berjalan tanpa merugikan pihak lain. Pengolahannya pun sebaiknya menggunakan teknologi ramah lingkungan yang dikoordinasikan dengan pakar di bidangnya,” ujarnya.
Menurutnya,m regulasi yang bagus adalah regulasi yang dibantu dengan ketat kepada pengelola.
“Saya setuju jika kebijakan ini hanya diperuntukkan bagi perusahaan dalam negeri,” kata Dr Tasi.
Jika semua telah dikoordinasikan dan tidak merugikan rakyat, imbuhnya, maka konsesi hutan bisa berjalan dengan baik.
Penulis: Romadhona S.